Senin, 29 Desember 2014

Menulis namamu

Kuambil lembaran kertas dari bukukuyang sengaja kukosongkan untuk menuliskan namamu.
Menyusunnya bersama riuh daun yang
meranggas di musim kemarau,
meringkasnya dengan mimpi murni yang
terperangkap rinai-rinai hujan.
Meski rapuh dan kuyup,
kekasih,
sungguh tak akan berhenti kukais dan kueja
dengan tabah abjad demi abjadmu.
Barangkali akan hadir makna yang lebih indah
dari udara yang kita hela bersama di teras itu.

- Verrel Argo Baldi, 30 Desember 2014

Sabtu, 27 Desember 2014

L.A Noire: Grand theft auto, serial killer, drugs, arsonist, and many more!


So, what now?
Its time for game review!

Seperti apa yang kalian lihat di Title dan gambar diatas, kali ini game yang akan direview adalah L.A. Noire.

Rockstar Games
Setelah sebelumnya telah menghasilkan beberapa masterpiece seperti Grand Theft Auto, Max Payne, Manhunt, Red Dead Redemption yang terbilang sangat sukses, Rockstar Games, perusahaan multinasional yang bergerak dibidang developer dan publisher game ini kembali hadir dengan sebuah masterpiece. Masterpiece kali ini memang tidak jauh berbeda dengan game - game besutan Rockstar lainnya yang sebagian besar berfokus pada game open-world third person shooting (Grand Theft Auto, Red Dead Redemption, Bully, dsb.). Namun, jika biasanya Rockstar Games menyuguhkan game - game yang berfokus pada fitur punching, shooting, driving, dalam masterpiece kali ini menyuguhkan fitur baru yang unorthodox.

L.A. Noire
L.A. Noire merupakan game yang berkiblat dan terinspirasi oleh neo-noir (merupakan style yang biasa kita temui pada motion pictures atau  bentuk pengaplikasian yang lainnya, yang membawakan elemen-elemen film noir - yang merupakan sebuah istilah sinematis yang biasa digunakan pada film drama kriminal Hollywood - dengan tema, gaya, konten, elemen visual yang berlatar pada tahun 1940an sampai 1950an atau pasca perang dunia 2) memang menyajikan fitur punching, shooting, driving seperti yang kita temui pada game Grand Theft Auto besutan Rockstar. Lalu, fitur baru apa yang disajikan kepada pemain dalam L.A. Noire ini? berbeda dengan Grand Theft Auto yang berlatar belakang gangster dan memang menonjolkan punching, shooting, driving, L.A. Noire berfokus pada genre Crime Investigation dengan balutan open-world third person perspective.
Elemen - elemen Film Noir dalam Motion Pictures

Pengaplikasian elemen Film Noir dalam L.A. Noire. L.A. Noire menggunakan palet warna yang khas , tapi karena mengangkat gaya film noir,  L.A. Noire memberikan pilihan untuk memainkan permainan dalam warna hitam dan putih .

Hal ini merupakan gebrakan yang sangat luar biasa yang diberikan oleh Rockstar Games mengingat sedikitnya game dengan genre Crime Investigation dengan balutan open-world third person perspective ini. Terlebih teknologi baru MotionScan yang digunakan dalam pengembangannya membuat L.A. Noire terkenal, dimana para aktor yang menggambarkan karakter dalam permainan direkam dengan 32 kamre disekitarnya untuk menangkap ekspresi wajah dari setiap sudut . Teknologi ini sangatlah penting untuk mekanisme interogasi yang disajikan, dimana pemain menggunakan reaksi orang yang diinterogasi untuk  menilai apakah mereka berbohong atau tidak. Teknologi ini dipadukan dengan voice acting yang diperankan dengan sangat baik menjadikan L.A. Noire sebagai game yang membawakan standar baru pada game yang akan lahir berikutnya secara grafis maupun gameplay, khususnya game dengan genre yang sama.



Diatas adalah pengaplikasian teknologi MotionScan pada L.A. Noire.


Plot
L.A Noire berlatar belakang di Los Angeles pada tahun 1940an, dan pemain akan memainkan seorang karakter yang bekerja di LAPD (Los Angeles Police Departement) untuk menyelesaikan beberapa kasus di lima departemen kepolisian yang berbeda - beda (Patrol Officer, Traffic Detective, Homicide Detective, Vice Detective, Arson Detective). Karakter yang kita mainkan dalam L.A. Noire adalag Cole Phelps. 

Cole Phelps adalah protagonis yang kita kontrol sepanjang permainan, dia adalah seorang veteran perang dunia II. Ia berusaha membangun kehidupannya kembali yang sebelumnya pahit ketika harus berhadapan dengan Jepang dan Jerman di perang saat itu. Ekonomi yang terus meningkat di Los Angeles merupakan hal yang sangat menarik untuk semua orang saat itu. Sayang, meningkatnya ekonomi dibarengi dengan maraknya kegiatan kriminal. Maka dari itu Cole mendaftarkan dirinya untuk bekerja di LAPD untuk mengabdikan dirinya kepada rakyat sipil. Permainan ini pada intinya menceritakan bagaimana proses dan perjalanan karir Cole Phelps sebagai detektif.

Seiring berjalannya permainan kita akan mengenal lebih jauh mengenai kepribadian Cole Phelps - Poin plus untuk Flashback Cutscenes saat perang dunia II menggambarkan kehidupan Cole Phelps yang complicated saat itu, yang akan muncul setiap kita menyelesaikan sebuah kasus - yang haus akan prestasi dan sangat berambisi. Selain itu, di setiap departemen Cole akan ditemani oleh partner yang berbeda - beda dan mempunyai kepribadian yang berbeda - beda pula, yang akan membantu kita menyelesaikan suatu kasus seperti memberikan petunjuk, memberikan komentar, menjadi gang member (sarkasme untuk GTA : San Andreas) yang berguna saat baku tembak, atau bahkan membantu kita untuk Fast-travel ke tujuan kita - dengan membuatnya menyetir kendaraan. 


Detective badge and his Cole Phelps, Ladies and Gentlemen.

Hands up where i can see it !

o yeaaaah, that feels right bruh.....

Do i look cute?

OOOOOO MAAAAAA GOOOODDD..... I FEEL SO SLEEPY. (Slo-mo voices)

Best candy ever !


Please, stahp ! or i'll cuff you.

Gameplay
Walaupun kita akan memainkan Cole Phelps melalui lima departemen yang berbeda - beda, pada intinya L.A. Noire menggunakan enam elemen inti dalam permainan ini, yaitu : investigation, interrogation, chasing (running or driving), fighting, shooting.

Investigation
Investigasi adalah proses pertama yang dilakukan ketika kita menjalani dan berusaha memecahkan suatu kasus. Proses ini sangat berhubungan erat dengan pencarian bukti - bukti yang akan membantu kita untuk memecahkan suatu kasus. Pada tahap ini pemain akan diharuskan untuk mengeksplorasi TKP untuk mencari kemungkinan - kemungkinan yang ada, mulai dari menginvestigasi puntung rokok hingga mayat dari korban. Ketika dalam melakukan Investigasi, L.A. Noire ini memberikan fitur yang akan memudahkan kita untuk mengindikasikan petunjuk di TKP. Alunan musik jazz lambat yang terus bermain merupakan fitur bantuan untuk anda mengindikasi bahwa masih ada barang bukti atau petunjuk yang tersisa di TKP. Selain itu pada TKP yang pertama - tempat dimana kantor polisi mendapat laporan - pemain akan sangat terbantu, karena sebelumnya tim ahli forensik dan polisi lainnya sudah terlebih dahuluu datang ke TKP dan akan memberikan tanda untuk beberapa barang bukti yang sudah ditemukan, pula ahli forensik ini akan memberikan analisisnya yang akan sangat memudahkan kita.




Cole Phelps sedang melakukan Investigasi terhadap barang - barang yang mungkin mempunyai signifikansi terhadap kasus.


Barang bukti atau tanda - tanda yang kita temukan saat investigasi akan sangat crucial untuk melakukan interogasi dan melakukan praduga terhadap seseorang untuk bertanggung jawab.

Interogasi
Interogasi merupakan proses selanjutnya ketika pemain sudah mengumpulkan cukup bukti. Interogasi ini biasa dilakukan dengan cara wawancara kepada orang - orang yang berkaitan dengan kasus, saksi, dan orang yang diduga bertangggung jawab akan sebuah kasus. Pertanyaan - pertanyaan yang diajukan memang sudah fixed, kita hanya tinggal memilih saja, namun berapa banyak pertanyaan yang kita ajukan sangat bergantung terhadap bukti, tanda, dan kesaksian orang yang kita dapatkan. Untuk memudahkan kita, Det. Cole Phelps akan selalu membawa notes yang berisi pertanyaan - pertanyaan, dan bukti - bukti beserta keterangannya sehingga kita tidak perlu mengingat - ingat ketika ingin mengaitkan jawaban dari orang yang kita interogasi dengan barang bukti atau pertanyaan lain. 

Notes unyu punya Det. Cole Phelps.

Observe the suspect closely as they make their statement.


Does he tells the truth? should i trust him? or simply accuse him lying cuz' bruh i got some evidence for it.

Dalam melakukan interogasi kita memiliki tiga opsi untuk memberikan respon terhadap keterangan dan jawaban yang diberikan kepada oleh para saksi. Opsi itu adalah Truth : Jika pemain meyakini bahwa keterangan yang diberikan merupakan hal yang benar dan saksi tidak menyembunyikan sesuatu. Doubt : Jika pemain meragukan keterangan yang diberikan oleh saksi, biasanya dapat diindikasi dengan cukup memperhatikan ada tidaknya kejanggalan dari keterangan yang diberikan. Lie : Ketika pemain tidak mempercayai keterangan yang diberikan dan menuduh saksi berbohong, biasanya kita diminta untuk memberikan bukti yang sesuai dan valid akan tuduhan itu. Lalu bagaimana kita tahu seorang saksi memberikan keterangan yang benar atau tidak? Pada bagian inilah teknologi hebat bernama MotionScan dan voice acting mengambil peranan hebat dalam permainan interogasi L.A. Noire. Teknologi ini menyuguhkan kita agar dapat melihat ekspresi wajah manusia dengan utuh. Dengan teknologi ini pula kita dapat melihat dan mendengar bagaimana ekspresi dan suara mereka saat memberikan keterangan mereka. Ketika saksi memberikan keterangan yang benar biasanya wajah ekspresi wajah mereka saat memberikan keterangan itu akan terlihat tegas, mata mereka akan fokus kepada Cole Phelps, sedangkan ketika mereka berbohong, biasanya ekspresi wajah akan terlihat tidak tegas dan sedikit ragu, mata mereka tidak berani melihat Cole Phelps untuk waktu yang lama, nervous, dsb.

Chasing or Fighting
Siapa sih yang mau ditangkep sama pak polisi? fitur ini lah mengapa L.A. Noire terlihat realistis. Hampir semua orang tidak ingin ditangkap dan memiliki pembelaan bahkan ketika mereka telah memberikan keterangan. Dalam beberapa kasus kita juga dapat memperhatikan kondisi seseorang saat memberikan keterangan. Ketika mereka tidak ingin ditahan atas beberapa kemungkinan (walaupun mereka ditahan bukan untuk dipenjarakan) maka mereka akan melakukan perlawanan, apakah itu dengan kabur dengan berlari atau dengan kendaraan, atau melawan.

RUN FORREST RUN !

Drive thru' like Groove Street Family madafaka!

Fighting the 40's Carl Johnson? Are you crazy? You're not that nigga from mortal kombat !
Shooting
Kurang afdol kalo polisi tidak terlibat dalam kegiatan baku tembak. Ya, beberapa pelaku kriminal sudah menyiapkan diri mereka dengan senjata api untuk beberapa hal, termasuk ketika polisi datang untuk menangkap mereka. Memang baku tembak dalam L.A. Noire tidak sebanyak yang kita temukan di Grand Theft Auto atau Red Dead Redemption, dan praktiknya lebih simple. Kita bisa memilih untuk auto-aim atau free-aim saat baku tembak (saya lebih memilih free-aim karena dalam game ini tersedia cover spot dimana kita bisa berlindung, dan dalam beberapa kasus akan lebih berguna ketika pelaku kriminal menyandera warga sipil). 

BANG BANG BANG !

Dont shoot ! or.....just dont shoot me :(
RPG element
Ada beberapa elemen yang penting juga dalam permainan, yaitu Experience point. Tidak hanya bermain dengan elemen - elemen diatas, Cole Phelps juga akan mengalami perkembangan. Experience points ini mengingatkan kita dengan elemen khas yang ada pada game - game dengan genre RPG. Namun dalam L.A. Noire pengadaan elemen ini tidak akan serumit RPG, hanya saja setiap Cole Phelps naik level, maka akan ada bonus - bonus yang terbuka seperti outfits, tempat kendaraan yang tersembunyi, atau bahkan Intuition point yang dapat digunakan untuk membuat Cole Phelps mengeluarkan kemampuan maksimalnya sebagai seorang detektif. Intuition point ini adalah fitur yang diberikan oleh Rockstar untuk menjawab kemungkinan pemain mendapatkan kesulitan dan mengalami stuck in a moment. Intuition point inilah yang akan sangat memudahkan pemaindalam mencari clue, investigasi, dll. Namun untuk tetap mempertahankan elemen inti dari investigasi yaitu eksplorasi, Rockstar hanya memberikan maksimal lima intuition point untuk pemain. Dan intuition point ini hanya didapatkan saat levelling up saja.

Kunci jawaban !
The Classical Grand Theft Auto !
Yang membuat L.A. Noire unik adalah realisme suasana klasik yang dibangun pada set-nya. Mulai dari bangunan - bangunan, pakaian, jalan - jalan dikota, kendaraan, objek - objek (telepon, foto, dekorasi, dsb.), hingga elemen pendukung lainnya seperti alunan musik jazz yang kental, membawa pemain kedalam suasana era 40an. Semuanya diramu dan dibalut dengan apik dan professional oleh Rockstar. Hal ini membuat kita mengaffiliasikannya sebagai Classical Grand Theft Auto (walaupun sebenarnya kita bermain sebagai seorang polisi. Affiliasinya lebih kepada jenis bermainnya) ketika Red Dead Redemption kita affiliasikan sebagau Western Grand Theft Auto/ Grand Theft Horse.




Street crime !
Fitur realisme lain yang disuguhkan oleh L.A. Noire ini adalah adanya street crime. Pemain tidak hanya diberikan kasus - kasus primer yang besar saja, karena akan sangat membosankan. Mengingat L.A. Noire adalah game open-world yang memungkinkan pemainnya melakukan free-roam, akan sangat membosankan jika tidak ada sesuatu untuk dilakukan, apalagi kita adalah seorang polisi, kita tidak akan dimungkinkan untuk membuat kekacauan seperti yang dapat kita lakukan di Grand Theft Auto. Maka rockstar memberikan fitur street crime yang akan muncul kapan saja melalui dispatch calls ketika kita sedang free-roam menikmati suasana klasik Los Angeles saat itu. Pemain akan dihadapkan dengan berbagai kejadian, seperti pembunuhan jalanan, percobaan bunuh diri, pencurian, penyaderaan, sampai perampokan bank.

Kelebihan
- Ekspresi wajah yang realistis
- Realisme atmosphere klasik
- Jalan cerita yang ditawarkan
- Bruh', its Crime Investigation game ! Rare and addicting !
- Gameplay yang unik

Kekurangan
- Gerak tubuh yang kaku
- Kurang banyak variasi saat free-roam
- Feedback baku tembak yang kurang realis
- Glitch

Similar Games
Heavy Rain


Enforcer: Police Crime Action


Beyond : Two Souls
 
Indigo Prophecy (Fahrenheit)

The Testament of Sherlock Holmes 


HAPPY GAMING !

Minggu, 21 Desember 2014

Bunga kecil kepada lebah

Semalaman aku membuat puisi ini untukmu.
Mengenai bunga kecil di pinggir danau,
yang tampak layu,
namun belum kering.
Karena ada yang tidak biasa.

Diam - diam ia menitipkan doa yang sama kepada matahari yang mengambang tenang diatas kepalanya.
Menitipkan harapan yang sama kepada ribuan rintik hujan.
Rindu yang sama kepada malam - malam bening.
Menunggu yang tak terjawab.

Mengenai lebah yang sudah pergi,
terbang melayang jauh,
bercumbu dengan siut - siut angin.
Belaian kaki kecilnya yang paling lembut,
dengungannya yang paling merdu,
puisi cinta yang dibisikkannya.

Yang diam - diam mengajarinya tentang perasaan,
tentang kecemasan,
tentang percakapan dengan orang yang disayangi.
tentang perpisahan.

Ia yang tidak bisa berlari mengejar,
yang tidak bisa terbang mendekat,
lantas selalu menjadi bunga kecil di danau itu.
Menjadi cinta yang tetap meski tampak layu.

Kekasih,
aku sebenarnya ingin kamu melihat bunga di pinggir danau itu saat kamu pulang,
melihat bahwa terkadang cinta hidup demi sesuatu yang janggal.
Namun bunga itu mungkin sudah mati ketika kamu pulang.
Tetap datangilah kuburannya,
kamu akan menemui aku yang tetap dan tidak layu disana.

- Verrel Argo Baldi, Desember 2014 - 

Rabu, 17 Desember 2014

Verifikasi Vs. Deadline

            Verifikasi dalam  kerja jurnalisme merupakan suatu hal yang sangat penting, namun verifikasi sulit dilakukan jika deadline penulisan sangat singkat. Setujukah Anda jika verifikasi diabaikan karena persoalan deadline? Dengan kata lain jika berita tersebut tidak segera diberitakan maka tidak akan ada berita yang dipublikasi alias akan ada halaman kosong yang disajikan ke khalayak.

Jawaban         :

Apa itu jurnalisme?

            Jurnalisme seperti yang kita ketahui merupakan sebuah proses demokratisasi dalam masyarakat. Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri.[1] Jurnalisme lahir dimasyarakat untuk memenuhi hak-hak warga negara akan informasi. Jurnalisme memiliki kekuatan memberdayakan masyarakat melalui arus informasi yang diberikan kepada masyarakat secara bebas. Kebebasan terhadap akses informasi ini merupakan sebuah pintu gerbang yang besar bagi warga masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses penciptaan pemerintahan dan peraturan dalam kehidupan masyarakat dan negara yang mencakup aspek politik, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa jurnalisme dihadirkan kedunia untuk membangun masyarakat.

            Jurnalisme memegang perenan penting dalam struktur masyarakat karena bersentuhan dengan hajat hidup warga masyarakat. Peranan yang penting ini membuat jurnalisme sering disebut-sebut sebagai pilar dalam demokrasi, bersanding dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam posisi ini produk-produk jurnalisme bekerja selayaknya anjing penjaga yang siap menggonggong untuk melaporkan segala sesuatu yang terjadi disebuah negara, baik menyangkut eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun menyangkut kepentingan warga masyarakat lainnya. Yang dibutuhkan untuk membangunkan sebuah demokrasi dari tidurnya adalah gonggongan yang benar.

Kewajiban pertama jurnalisme

            Seperti yang dikemukakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya yang berjudul Sembilan elemen jurnalisme, kewajiban pertama dalam dunia jurnalisme adalah pada kebenaran. Menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya merupakan kewajiban mutlak dari setiap wartawan. Lalu “kebenaran” apa yang dimaksud disini? Dalam survey yang dilakukan oleh Pew Research Center for the People and the Press dan Committee of Concerned Journalist dengan wartawan sebagai sample utamanya, menghasilkan data bahwa 100 persen wartawan menyatakan “menyajikan fakta secara benar” merupakan nilai yang dianggap paling tinggi dalam pekerjaan jurnalisme.[2] Semua wartawan dalam berbagai media, mulai dari media konvensional sampai media baru mengusung misi utama yaitu menyampaikan “kebenaran”.

            Akan sangat sulit bagi seorang jurnalis untuk bias bersikap sangat objektif terhadap suatu informasi yang didapatkan – yang kemudian akan disebarluaskan melalui media dimana jurnalis itu bekerja – karena setiap jurnalis pasti memiliki bias tertentu. Pasar dimana jurnalisme dilahirkan tidaklah seideal yang kita pikirkan, selalu ada permintaan terhadap keuntungan, perangai sebuah berita biasanya besar dipengaruhi dari kepemilikan, kualitas dan keputusan penyampaian informasi dari suatu media sangat erat kaitanya dengan redaktur dan budaya redaksi, bisnis pengorganisasian berita juga menjadi pernanan penting, oligarki media, bahkan pengetahuan kita mengenai internet yang masih sangat muda ini memberika tantangan tersendiri terhadap bias objektifitas dalam jurnalisme. Meski demikian, seorang jurnalis seharusnya tetap berpegang teguh kepada kebenaran, dan tetap mengejar akurasi, kejujuran dan kebenaran secara terus menerus.

            Dalam beberapa sisi, kebenaran yang kita maksud tampaknya sebuah kebenaran hakiki sangat rumit atau dikatakan sebuah mimpi untuk dikejar para jurnalis, karena kita mengetahui secara filosofis setiap individu yang berkaitan dengan informasi mempunyai subjektifitas masing-masing. Jika kita berpegang kepada kajian semantic dalam filsafat mengenai kebenaran dalam jurnalisme, maka kita mengetahui bahwa jurnalisme sesungguhnya tidak pernah menyampaikan sebuah kebenaran yang hakiki. Kajian mengenai kebenaran jurnalistik cenderung masuk kepada kebenaran fungsional, lebih dari sekedar akurasi. Ini – kebenaran jurnalistik – adalah pekerjaan sortir yang berkembang antara cerita pertama dan interaksinya di tengah publik, pembuat berita, dan wartawan sepanjang waktu.[3] Hal inilah yang “kebenaran” yang sebenarnya dikejar dalam dunia jurnalisme yaitu kebenaran praktis dan fungsional. Kebenaran jurnalisme lebih sebagai proses yang dijalankan. Pada tulisan Eugene Meyer pada tahun 1993 mengenai prinsip kebenaran jurnalisme yang dianut Washington Post adalah menyampaikan kebenaran sedekat kebenaran bisa dipastikan.[4]

            Jadi, keinginan agar informasi yang disampaikan oleh jurnalis adalah sebuah kebenaran merupakan hal yang sangat penting dalam membangun demokrasi. Jurnalis harus melakukan upaya-upaya yang sangat keras dengan memilah-milah fakta dalam informasi yang mereka dapatkan secara berkelanjutan. Karena dengan ini akan membentuk kualitas terpenting dalam berita yaitu dapat digunakan dan diandalkan untuk dikembangkan menuju kebenaran. Yang harus dijunjung tinggi dalam menyampaikan sebuah informasi adalah validitas dan reliabilitas.  Maka dari itu, verifikasi menjadi tulang punggung jurnalisme dalam menjalani proses kebenaran informasi yang  dimaksud.

Pentingnya verifikasi dalam jurnalisme

            Jurnalisme merupakan sebuah disiplin ilmu yang berurusan erat dengan proses pencarian kebenaran. Namun kelemahan dari jurnalisme ada pada pelaku jurnalisme itu sendiri, yaitu subjektifitas yang dibawa oleh mereka. Kebenaran yang objektif menjadi sebuah kata yang tidak akan bisa di rengkuh oleh dalam jurnalisme. Maka dari itu, hal yang bisa dilakukan oleh pelaku jurnalisme adalah mengupayakan agar informasi yang mereka dapatkan dan yang anntinya akan mereka sampaikan ke public adalah informasi yang paling mendekati dengan kebenaran. Verifikasi adalah jalan utama yang harus ditempuh dalam upaya tadi.

            Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme mengemukakan bahwa, esensi utama dari sebuah jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Karena sejak awal jurnalisme memiliki focus untuk menceritakan apa yang terjadi setepat-tepatnya, maka disiplin verifikasi inilah yang pada akhirnya memberikan perbedaan atau ciri-ciri khusus jurnalisme dibandingkan dengan hiburan, fiksi, propaganda, atau seni. Verifikasi selalu berada dalam fungsi pokok jurnalisme, maka metode verifikasi sejalan dengan apa yang dikatakan Walter Lippman pada 1920, “Sebuah komunitas tak bisa merdeka bila kekurangan informasi, karena dengan informasi yang cukup kebohongan bisa dideteksi.”[5]

            Dalam jurnalisme verifikasi tidaklah cukup bagi masyarakat atau publik apabila seorang jurnalis memberikan niat baik atau upaya jujur dalam menyampaikan informasi, bahkan hanya sekedar menerbitkan fakta saja tidaklah cukup. Konteks, jejak dari fakta yang diciptakan dan bagaimana jurnalistik menghadirkan mereka juga haruslah akurat.[6]

            Pada jurnalisme verifikasi, kelengkapan akan informasi terhadap fakta ditempatkan pada nilai tertinggi. Sebagaimana yang diperkenalkan Commission of Freedom of the Press, yang dikenal dengan Hutchins Commission, pada 1947: “sebuah laporan yang benar, komperhensif, dan cerdas mengenai kejadian sehari – hari dalam konteks yang bermakna. Syarat pertama adalah media mesti akurat, mereka tidak boleh bohong. Dan fakta harus bisa dipahami dengan cara yang bisa dipahami. Tak lagi cukup melaporkan wakta yang sebenar-benarnya, kini penting untuk melaporkan kebenaran soal fakta.”

Verifikasi Vs. Deadline

            Seperti yang sudah diuraikan diatas, verifikasi merupakan hal yang penting dalam proses jurnalisme. Verifikasi merupakan intisari dari proses jurnalisme. Namun memang tidak mudah bagi seorang jurnalis untuk melakukan verifikasi karena wartawan jarang sekali berada di lokasi kejadian dari berita acara. Maka mereka harus bersandar kepada sumber untuk menyampaikan informasi tentang apa yang terjadi. Banyak wartawan yang juga kurang atau bahkan tidak sama sekali memiliki keterampilan dalam melakukan penafsiran terhadap suatu peristiwa atau isu tertentu. Mereka berpaling kepada pendapat para pakar untuk memberikan informasi yang jelas. Oleh karena itu adalah sumber merupakan aspek penting dalam dunia jurnalisme. Lalu bagaimana sikap seorang wartawan melakukan verifikasi mendalam – yang diatas dijelaskan merupakan hal yang sulit – untuk memenuhi hasrat verifikasi jurnalisme sedangkan wartawan itu sedang berada pada zona deadline yang mengharuskan wartawan untuk memproduksi berita kepada masyarakat?

            Pertanyaan seperti ini menurut saya merupakan pertanyaan dalam ranah yang abu-abu, akan sulit untuk memberikan justifikasi mana yang lebih baik. Mengingat elemen-elemen bebrapa elemen jurnalisme yang menyangkut isu ini kurang filosofis, lebih bersifat fungsional dan praktikal. Kebenaran yang merupakan kewajiban utama seorang jurnalis juga dipengaruhi subjektifitas dari jurnalis itu sendiri. Subjektifitas wartawan inilah yang menjadi tembok penghalang bagi jurnalisme dalam menyampaikan kebenaran. Maka para wartawan menetapkan metode bernama verifikasi untuk mendekatkan informasi mereka kepada kebenaran. Namun, sekali lagi menurut saya tidak ada indikator pasti – jika ada maka akan sulit untuk dilakukan pemeriksaan – untuk mengukur sejauh mana informasi yang diterima oleh masyarakat. Dengan ini bisa bisa ada ancaman”jurnalisme adalah apapun yang dikatakan wartawan tentang jurnalisme” seperti yang dikatakan Maxwell King mantan redaktur Philadelphia Inquirer “kita membiarkan karya kita berbicara mewakili dirinya sendiri.” Atau, kerika terdesak wartawan dengan gampangnya menganggap mereka bekerja demi kepentingan publik.[7] Dalam hal ini berarti kita sebagai publik tidak mengetahui sejauh mana berita itu sudah mendekati kebenaran. Sejauh ini apabila tidak ada berita kelanjutan atas berita yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa berita tersebut telah mencapai titik terdekat dari kebenaran. Contohnya sederhana di Indonesia, ketika seorang yang sedang menghadapi tuduhan kasus korupsi dan mempunyai peluang besar menjadi tersangka dikabarkan sedang jatuh sakit dan dirawat di RS X, maka sejauh ini media hanya meminta keterangan dari pihak rumah sakit, kerabat, atau orang yang terkait – yang sebenarnya bisa saja secara dipaksa, diminta, dibayar atau tidak mempunyai preferensi untuk menutup-nutupi kebenaran tentang keadaan sesungguhnya. Jika berita mengenai apa yang menimpa terduga disampaikan ke masyarakat bagaimana adanya diatas tanpa ada verifikasi lebih lanjut, maka kita semua dapat menyimpulkan bahwa hal yang diberitakan sudah paling mendekati kebenaran. Bagaimana jika media memverifikasinya dengan mendatangi ruangan dimana terduga dirawat untuk melihat apa yang benar-benar terjadi kepadanya? Ya, titik kebenaran yang tadinya sudah hampir dicapai akan naik lebih tinggi lagi. Jadi wartawan sendiri lah yang menetapkan indikator kebenaran didalam beritanya.

            Jika dilihat secara hitam putih dalam artian harus menyimpulkan yang mana yang lebih baik atau buruk, maka saya kurang setuju apabila seorang wartawan dalam proses produksi berita harus mengabaikan verifikasi hanya karena persoalan deadline. Karena idealnya verifikasi dalam jurnalisme adalah ruh yang menghidupkan jurnalisme. Dalam bukunya Regret the Error: How Media Mistakes Pollute the Press and Imperil Free Speech, Craig Silverman menyatakan bahwa dalam jurnalisme seorang jurnalis hanyalah sebaik sumber mereka. Ketika sumber-sumber salah, jurnalis juga akan salah. Evaluasi asal muasal dan kejujuran dari sumber merupakan hal yang penting untuk meningkatkan akurasi mengingat sumber adalah hal ini sangat penting untuk jurnalis. Apabila berkaca kepada kewajiban utama jurnalisme, yaitu menyampaikan kebenaran – dimana verifikasi merupakan jalan utama untuk mendekatkan berita kepada kebenaran – maka pengabaian verifikasi bisa dikatakan sebagai bentuk pengabaian terhadap kewajiban utama jurnalisme yaitu kebenaran. Menurut saya jurnalisme tidak akan berjalan jika tidak adanya publik.  Melihat kembali kebenaran yang dikatakan bahwa jurnalisme membiarkan komunitas bereaksi terhadap produk jurnalisme. Walaupun verifikasi juga dipengaruhi oleh subjektifitas dan bias dari jurnalis, kita dapat melihat bahwa media yang beredar dimasyarakat sangatlah banyak dan bervariasi. Maka kita sebagai publik juga wajib melakukan studi komparasi untuk menilai apakah suatu produk jurnalisme sudah mendekati kebenaran.

            Menelisik juga mengenai loyalitas utama seorang jurnalis adalah kepada masyarakat, jika dilihat secara hitam putih menyampaikan berita dalam waktu yang tepat merupakan hal yang penting dalam jurnalisme. Tidak bisa dipungkiri memang kita sebagai public memiliki hak utnuk mendapatkan pemuasan terhadap kebutuhan informasi dengan cepat. Namun, ada sedikit kabut abu-abu yang membuat saya meraba-raba apakah dengan mengeluarkan berita dengan verifikasi minim yang dimaksud disini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan jurnalis akan deadline, ataukah demi kepentingan publik akan akses berita yang cepat. Dan jika output yang disampaikan ke masyarakat khusunya di Indonesia sifatnya hampir sama dengan kasus terduga korupsi yang sebelumnya saya contohkan – dimana kita menganggap berita itu sudah di verifikasi karena menampilkan sumber-sumber yang sudah bisa dikategorikan sebagai sumber kredibel – bukankah ironis bila kita mengatakan itu mendekati kebenaran? Idealnya seorang jurnalis yang berpegang teguh kepada kewajiban terhadap kebenaran akan menjaga loyalitasnya kepada masyarakat, dengan menomorsatukan hasil berita yang sudah diverifikasi secara baik, baru kemudian memenuhi tuntutan deadline. Karena sesungguhnya verifikasi lah yang membedakan jurnalisme dengan cerpen, novel, dongeng, atau fiksi. Tapi tidak lupa kita sebagai masyarakat harus terus berpikir skeptis, karena jurnalisme verifikasi adalah jurnalisme yang menyajikan jawaban terlengkap atas pernyataan yang kita ajukan melalui cara berpengetahuan skeptis



Daftar Referensi

Kovach, Bill.; Rosenstiel, Tom. Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006)

Kovach, Bill.; Rosenstiel, Tom. Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran Di Era Banjir Informasi. (Jakarta: Dewan Pers, 2012)

CCJ dan Pew Research Center for the People and the Press. “Striking the Balance: Audience Interest, Business Pressure and Journalist Values”. (March 1999)

Lippmann, Walter. Liberty and the News. (New Brunswick, N.J., and London: Transaction Publishers, 1995)

Silverman, Craig. Regret the Error: How Media Mistakes Pollute the Press and Imperil Free Speech. (Toronto: Viking Canada, 2007.)

Rieh, Soo Young., and David R. Danielson. “Credibility: A multidisciplinary framework.” Annual Review of Information Science and Technology 41 (2007): 307-364.

Brouse, Cynthia. After the Fact: A Guide to Fact-Checking for Magazines and Other Media. (Toronto: Ryerson University, 2007) Print.

Meyer, Philip. The New Precision Journalism. (Bloomington: Indiana University Press, 1991) Print.

[1] Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006), 12.

[2] CCJ dan Pew Research Center for the People and the Press, “Striking the Balance: Audience Interest, Business Pressure and Journalist Values” (Maret 1999), 79.

[3] Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006), 45.

[4] Eugene Meyer, “The Post Principle,” in Washington Post Deskbook on Style, 2nd ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 7.

[5] Walter Lippman, Liberty and the News (New Brunswick, N.J., and London: Transaction Publishers, 1995), 58.

[6] Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Blur : Bagaimana Mengetahui Kebenaran Di Era Banjir Informasi (Jakarta: Dewan Pers, 2012), 38.

[7] Maxwell King, pada rapat pendirian Committee of Concerned Journalists (CCJ), 21 Juni 1997. Sebagaimana dikutip di dalam Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006), 11.

Sabtu, 27 September 2014

Sore tak lagi jingga

Sore ini kau mengajakku lagi ke sebuah bukit.
Kita biasa datang kesini.
Hampir setiap hari.
Bercanda,
tertawa,
berbaring diatas rumputnya.
Menikmati jingga sore hari.
Indah.

Tapi sore ini tidak seperti sore - sore lalu.
Bukan karena langit malang berawan,
bukan juga karena simfoni yang dimainkan hujan.
Bukan.

Coba lihat cakrawala itu.
Sore ini tak lagi jingga.

Tidakkah kau menyadarinya?
Entahlah, tak bisa kutebak.
Tak pandai aku dalam itu.

Maka kita diam.
Tak bercanda,
Tak tertawa.
Ada jarak diantar kita.
Antara diam dan pertanyaan mengenai sore itu.
Tetap saja tanpa kata - kata.
Aku menunggu.

Barangkali langit telah menceritakan semuanya padamu.
Tentang semua yang aku gantungkan disana.
Maka tidak perlu lagi ada jingga di ufuk
untuk menjelaskan kenapa kita setiap hari datang ke tempat ini.
Tempat yang begitu benar.

Kata orang kebenaran itu hangat dan mesra,
tetapi begitu murung.
Aku lihat itu di wajahmu.
Maka kita tetap diam.

Kau tahu bukan sore tak akan ada untuk selamanya?
Sebentar lagi juga akan malam.
Aku masih menunggu.
Menunggu kata - katamu yang telah terlebih dulu dijemput  oleh angin sore itu,
sehingga tak sempat tersampaikan ke siapapun.

Sementara para pujangga pun sudah mulai berhenti bersajak.
Para filsuf pun telah lelah berpikir.
Tapi aku masih menunggu.

Karena aku menyayangimu.
Lebih dari seorang pujangga pada sajaknya,
lebih dari seorang filsuf pada pemikirannya.

Sayangnya, aku bukan Tuhan.
Tak bisa kubuat langit disini kembali jingga.

Jadi lihatlah aku,
mari kira pergi ke tempat lain.
Tempat dimana kita masih tetap bisa menikmati sore seperti biasa.
Bahkan ketika dia tak lagi jingga.

Percaya, disana akan lebih baik.

- Verrel Argo Baldi, 26 September 2014.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Sebuah keinginan

Aku ingin melihatmu bahagia.
Menjadi daun kering terakhir di senja itu,
berbesar hati meninggalkan pohon yang tak lagi membutuhkannya,
bersama angin.

Aku ingin mempercayaimu.
Seperti daun kering terakhir,
percaya kepada angin yang mengajaknya berjalan - jalan,
kemanapun mereka berlabuh.

Aku ingin merindukanmu.
Bagai daun kering yang telah lelah berjalan - jalan,
merebahkan dirinya yang tua dibawah pohon.
Memandanginya,
pohon yang tak bisa lagi direngkuhnya di malam - malam dingin.

Aku ingin mencintaimu.
Layaknya daun kering yang mati
dan membusuk di tanah.
Menjadi pupuk.
Memberikan dirinya demi harapan - harapan baru untuk sang pohon yang ia cintai.

- Verrel Argo Baldi, Agustus 2014

Selasa, 19 Agustus 2014

Menjadi aku

Dipinggir jalan,
dipayungi oleh lampu jalan,
kita menengadah ke langit malam ini.

Ada pameran lukisan yang dipertontonkan oleh bintang - bintang itu.
Dia terkesima memandangi pameran itu.
Tapi aku,
hanya diam memandangi kesombongan-Mu yang ada pada dirinya.
Kesombongan itu adalah kesempurnaan.

Tak sedikitpun dia berpaling.
Aku bertanya,
"Kenapa Kau tidak menunjukkan kesombongan-Mu padaku?"
Kau hanya diam.
Menghabiskan batang rokok terakhir yang ada di saku-Mu itu.

Kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri,
"Apakah aku harus menjadi pelukis, dan menggantungkan karya - karya ku di bintang itu agar dia mencintaiku?"
entahlah,
pada akhirnya aku tetap terdiam memandangi dalamnya laut kesunyian,
laut yang sekejap dia ciptakan untukku saat itu.

Ketika semua terasa baik saja,
seketika semesta mulai murung.
Mulai disampaikannya tetesan - tetesan rindu,
dari mata langit kepada wajah bumi.
Pameran itu tutup begitu saja.

Dia pun lekas berdiri untuk menghindari hujan,
kemudian memandangiku, dan tersenyum.
Semua itu sudah cukup bagiku.
Cukup untuk menyelamatkanku yang hampir saja mati tenggelam di laut itu.

Aku sadar,
untuk mencintainya tak perlu menjadi langit,
bukan juga bintang,
bukan juga Kau.
Mencintainya cukup menjadi aku.

- Verrel Argo Baldi, Agustus 2014.

Desa Pinggir Rel

Dengan lori kayu,
senja hari kami datangi desa pinggiran rel yang berbatu tajam.
Angkuh sekali bebatuan itu.
Namun, batu itu tidak cukup tajam bagi anak - anak disana.
Tidak cukup tajam bagi mereka yang bermain bola.
Tidak juga bagi mereka yang bercanda diatas besi - besi rel.
Tak kulihat amarah.
Hanya ada senyuman.
Bertanya aku kepada mata mereka,
"Kemanakah perginya semesta yang semua orang kota cari?"
Tidak ada jawaban,
yang terdengar hanya  riak ketidaktahuan di mata mereka.
Mungkin mereka tidak melihat,
tidak berusaha melihat.
Entahlah,
mereka tetap bermain dan bercanda di rel itu.
Aku pun tersenyum dibuatnya.

- Verrel Argo Baldi, 19 Agustus 2014.

Kamis, 29 Mei 2014

Looks Like Rain But Tastes Like Tea

"The world is a book and those who do not travel read only one page." - St. Augustine

What makes you should go to England?

Many of us will answer; “Have never get there yet”, ”Many say that England is a beautiful place to go”, "it looms large in the heart of romantics everywhere", ”Big Ben”, “Harry Potter !” ”BEATLES !!”, ”CHELSEA !!!”. The answer will absolutely different if the question proposed to me, well ........ CHELSEA !!! 

 



But its true, the answer that will crawling out of my throat will be different.


My imaginations. Yes, my imaginations.

"The use of traveling is to regulate imagination by reality, and instead of thinking how things may be, to see them as they are." - Samuel Johnson.

My journey for #InggrisGratis all started not from anywhere, but my imaginations.
I’ve imagined something beautiful from beaches, lakes, icy mountaintops and tropical rainforests. Imagined something unique such as riding a horses in Flores and an elephants in Way Kambas. Imagined something naturally like swimming with jellyfishes in Raja Ampat, gets a cold feet on top of Jayawijaya peak. 

So, what’s my imagination about England?
Looks like rain but tastes like tea. How could it be the rain tastes like tea? Did i lost my mind? Genius! 




Decoding the phrases?

Here, i’ve read some article about England and most of them literally said that it rains a lot there. But, England truly does have it all – an immense capital city filled with endless gems, a countryside that could swell the hardest of hearts, a lively pub culture, and a history so rich, it oozes from every cobblestone and street corner. And of course, FOOTBALL !! Yeaaahhh !!
Yes ! Every raindrop is a tea.
Here is some taste to trigger your imagination about England :








But then, they said the best imaginations is not as good as the worst reality.

So? What’s all that mean for me? I never know why should i go to England. I dont even know “Why England?”. But its weird that i’m still imagine about it. Imagining my jawdrop and the burst of heartbeat if i could stick this tiny feet on the smooth grass of Stamford Bridge. Imagining the splendor of Buckingham Palace. Imagining how the Indonesian men imagined about a big trip to England rather than a little trip to their own country, Indonesia. Why people would contextually KILL everything to get this trip? How England could freely change the Indonesian brain ways to think about Indonesia? What should i do with people imaginations just if i know the reality that exist behind all those imaginations.? Obviously, the rain that really hit me hard until i fell down to the ground is not all of that imaginations, but the people who imagined about it too and didnt even imagine about the potentials of Indonesia. 

I make the chance to bring reality.
If i have an imagination but do not try to bring reality. I am only the resounding gong or clanging cymbal. We have all heard about England from mouth of man a million times, but few can tell the truth. I want to tell everyone that just imagined the same way like i did. And yes, i make the chance to bring reality for Indonesian people.

"If you have an idea, write it! otherwise, you will forget it." - Steve Jobs

I really let every fresh idea out from my head. Let it tickle my little fingers, and makes it dance on my keyboard. One word, two words, three words start to giggle in my monitor. My little words introducing me with commas, points, quotation marks, and some emoticons. You should meet them, they are really friendly. Those friendly little things helping me build the sentences. The sentences slowly shows me the reality of paragraphs. Every word is precious for me, just like every laughter of a baby. Every word really just like a rainbow step to reality. WTF is rainbow step? -__-

 

Rainbow Step. Beautiful isn't it?

Yes, reality will be more amazing than imagination friends. And yes, i make this chance to compare England and Indonesia. Who knows that someday Indonesia will be able to become "England" for England people if we dont try to bring reality? I will let you know the reality. I will share its beauty to you if i win. Later we can share it to our country. Indonesia. So we dont need to imagine again to make our Indonesia tastes like every raindrop in England. 

The Reason. 
So, why should i go to England? Simply, i want to answer the imagination with reality. I really want to use this little step (#InggrisGratis) to regulate imagination by reality, and instead of thinking “Why?” “How?” “What?” things about England may be, to see the reality behind the beautiful sparks of every imagination and the mysteries of every question. Lets make our Indonesia tastes like tea. 
To my mind, the greatest reward and luxury of travel is to be able to experience everyday things as if for the first time, to be in a position in which almost nothing is so familiar, it is taken for granted.

“A journey of a thousand miles must begin with a single step.” – Lao Tzu

Wait me, England :)