Selasa, 18 Agustus 2015

Ibu, lihatlah aku

Ibu, aku harap kau masih dapat melihatku. Ini anakmu yang dulu suka merengek karena kelaparan dan tidak mampu makan sendiri. Yang dini hari suka sekali membangunkanmu dengan tangisanku yang keras, padahal tubuhku begitu kecil. Aku anak yang dulu tidak tahu malu ketika membasahi baju-bajumu dengan air seniku. Apakah kau ingat itu?


Aku tidak tahu seberapa besar rasa sayangmu padaku, mungkin tidak akan pernah tahu. Yang ku tahu pasti sangatlah besar. Ingatkah ketika kau malah tersenyum bahagia dan tidak memarahiku sedikitpun di hari pertama aku membuatmu menangis? Aku dengar orang-orang bilang arti cinta sesungguhnya adalah untuk membebaskan. Aku lihat itu  di hatimu, Bu. Kau tidak pernah menahanku, melainkan mengajari aku merangkak, berjalan dan berlari untuk menjelajahi waktu yang nyatanya diam.


Ibu, terimakasih kini aku sudah mulai mengenal waktu. Aku senang menjelajahi dunia. Anak laki-lakimu ini sudah mulai mengenal perempuan juga. Aku selalu ingin menceritakannya padamu, dengan nada malu, lalu kau hanya tersenyum dan tertawa kecil. Aku ingin mendengar ceritamu sebagai perempuan pada saat seperti ini, atau cerita tentang dirimu dan Bapak.


Aku juga sudah mengenal banyak rasa sakit.
Tapi itulah yang dibutuhkan untuk menjadi dewasa, bukan?
Untuk menjadi bijak seperti Bapak.


Ibu, aku tahu menjadi dewasa itu penuh tanggung jawab dan berat. Terkadang anak kecilmu merasa congkak dan sudah cukup tahu untuk menjalaninya sendiri. Tidak jarang aku malah mengeluh; marah; menyesal; dan merasa dikhianati, tapi bodohnya aku juga belajar untuk keras kepala dengan segala nasehatmu. Aku tahu kau akan bersabar, karena belajar dan mengeja menjadi sendiri harus kulakukan.


Sebentar lagi aku akan meninggalkan rumah. Memilih jalan sendiri. Kau tahu hari itu akan datang. Kau hanya akan menetap disana dan memandangiku yang perlahan-lahan menghilang diujung cakrawala. Tidak berusaha mengejar, lalu berpura-pura kuat dengan bersembunyi dibalik senyum itu. Bu, tapi aku tahu, tidak ada yang lebih mengharukan bagi seorang ibu dari melihat anak yang pergi dewasa.


Tidak tahu seberapa besar aku akan merindukan perhatianmu dulu ketika aku terjatuh dari sepeda. Aku juga pasti merindukan cubitan kecilmu ketika aku melakukan kesalahan. Mungkin nanti aku akan terlihat tinggi dan kuat, tapi sesungguhnya aku takut tersesat, dan kedewasaan telah membuatku malu untuk mengatakannya. Aku malu mengatakan kalau aku sedang membutuhkan pelukanmu dimasa-masa sulit, aku malu menangis di hadapanmu.
Bu, ketika aku di luar nanti jangan pernah biarkan aku merasa bisa sendiri. Jangan pernah biarkan aku menolak kesederhanaan.


Aku mencintaimu, aku harap Ibu bisa mendengar itu.