Rabu, 06 Januari 2016

Takut untuk berani

Kepada kamu,
yang tidak percaya
dan yang takut.

Sebelum pembunuhan itu kamu sangat percaya.
Berdiri tegak dan berani.
Kamu tidak takut, untuk sepenuhnya jatuh;
menjadi halaman dimana orang lain melepaskan sepatunya
ketika lelah bekerja,
menjadi rokok terakhir yang bersedia dibakar
untuk kenikmatan sesaat.
Menjadi mati,
namun kamu berani menikmati kematian itu.
Karena kamu percaya semuanya akan baik-baik saja
walaupun di neraka.

Sayangnya, wajah pembunuh itu telah merasuk ke mimpi-mimpi.
Membuatmu jadi takut bermimpi,
membuatmu jadi takut beristirahat;
walaupun kamu butuh,
walaupun pundakmu sudah mengecap beban yang tak terkira.
Beban yang kamu bawa setiap hari.

Tiap malam kamu tidak benar-benar tidur.
Hidup dalam sekat-sekat aman
yang sekiranya akan melindungimu dari malam-malam dingin.
Kamu juga takut terjaga terlalu larut,
kamu takut minum kopi,
selalu ingin cepat tidur;
tidak ingin mengingat pembunuhan itu
menolaknya.
Tapi saat kamu akan tertidur
kamu ingin tidur itu setidur-tidurnya;
menjadi tidur terakhir,
tidak ingin bangun lagi.

Kamu tidak lagi bisa membedakan
mana yang semu dan mana yang nyata
hanya dipisahkan oleh kelambu tipis
semua membingungkan
kamu menjadi takut memutuskan
kamu menolak untuk jatuh ke dunia semu
maka kamu memilih berlari

Tiap harinya kamu berlari
melarikan diri,
membohongi dirimu sendiri,
berusaha menerjemahkan labirin yang tidak bisa dipecahkan;
teka-teki yang kamu buat sendiri,
yang akan membuatmu merasa merdeka ketika memecahkannya.
Meyakinkan dirimu bahwa di ujungnya ada yang selama ini kamu cari
kemudian mengulang lagi.
Teka-teki lain untuk dipecahkan.
Harapan lain untuk dicari.

Sesaat kamu rindu untuk diam dan menetap.
Namun lengkingan sakitnya tetap memburumu dalam sepi;
membuatmu terpaksa menyukai keramaian dan kesibukan semu
yang tidak ada luang,
yang tidak ada ruang
untuk disusupi sepi.
Kamu jadi takut untuk sendiri,
tapi kamu lebih takut lagi tidak bisa kembali sendiri

Tidakkah kamu lelah?
Dikejar-kejar ketakutan.

Padahal kamu tidak membunuh.
Bukan pembunuh.
Tidak pernah membunuh.

Kamu sendiri yang tahu
tentang akal dan hatimu
tentang jalan yang kau tempuh
tentang penghabisan dan ujungnya
tentang rekah dan berkah yang sejujur-jujurnya
dalam dirimu, rasi bintang yang paling indah.

Tak perlu takut dibunuh
matilah semati-matinya,
bersama awan senja
rinai rindu
karena itulah awal kekekalan.
Hidup tanpa takut mati.

Aku percaya kamu.

- Verrel Argo Baldi, 6 Januari 2016

Sabtu, 02 Januari 2016

Perlucutan

Saat ketakutan itu datang
aku meringkup di ujung kamar,
mendengar teriakan tentang yang salah dan yang benar
dan yang tidak akan kembali.
Suara kaca pecah dan lari-lari bergemuruh.

Inikah dunia?

Tentang tangis ibu pecah di ruang tengah.
Wajahnya yang pucat pasi
seperti bunga terakhir di awal musim dingin.
Tentang ayah bersumpah serapah.
Tidak membiarkan dirinya diterkam
getirnya awasan ketaksaan.

Lengkaplah sudah.

Akupun tersedu sedan.
Aku bingung berbicara dengan siapa,
bingung berbagi dengan siapa;
mungkin tidak ada.
Mengingat yang mungkin juga akan pergi
jauh meninggalkan.

Di balik selimut yang tak cukup besar,
hanya menutupi wajah;
menangis,
teriak,
meratap.
Berusaha lari dari takdir dan keniscayaan.

Lalu bayang-bayang kematian datang
mengambang di hadapan.
Di matanya terhimpun semesta;
tajam ke arahku,
menyapa pikiranku,
membeku.

Tangannya yang renta bergetar
berusaha mencapaiku.
Merasuk.
Idenya membelai nadiku.
Membuat celah sepanjang horizon,
membiarkan kakiku menjadi dingin.
Meninggalkan ketakutan paling panjang.
Rekah dan yang tak akan pernah tertutup
oleh tangis yang pecah
dan doa.
Membunuh imajinasi.

Akhirnya usai juga.

Setelah lucut,
di sisa-sisa keraguanku
kurasakan napasnya yang kering.
Dia bergumam
menjawab pertanyaan yang belum terpecahkan.
Semua tentang kebenaran yang muram,
tentang lapar,
dan tentang gelap.

'Ya, inilah duniamu.'

- Verrel Argo Baldi, 2 Januari 2016