Sabtu, 27 September 2014

Sore tak lagi jingga

Sore ini kau mengajakku lagi ke sebuah bukit.
Kita biasa datang kesini.
Hampir setiap hari.
Bercanda,
tertawa,
berbaring diatas rumputnya.
Menikmati jingga sore hari.
Indah.

Tapi sore ini tidak seperti sore - sore lalu.
Bukan karena langit malang berawan,
bukan juga karena simfoni yang dimainkan hujan.
Bukan.

Coba lihat cakrawala itu.
Sore ini tak lagi jingga.

Tidakkah kau menyadarinya?
Entahlah, tak bisa kutebak.
Tak pandai aku dalam itu.

Maka kita diam.
Tak bercanda,
Tak tertawa.
Ada jarak diantar kita.
Antara diam dan pertanyaan mengenai sore itu.
Tetap saja tanpa kata - kata.
Aku menunggu.

Barangkali langit telah menceritakan semuanya padamu.
Tentang semua yang aku gantungkan disana.
Maka tidak perlu lagi ada jingga di ufuk
untuk menjelaskan kenapa kita setiap hari datang ke tempat ini.
Tempat yang begitu benar.

Kata orang kebenaran itu hangat dan mesra,
tetapi begitu murung.
Aku lihat itu di wajahmu.
Maka kita tetap diam.

Kau tahu bukan sore tak akan ada untuk selamanya?
Sebentar lagi juga akan malam.
Aku masih menunggu.
Menunggu kata - katamu yang telah terlebih dulu dijemput  oleh angin sore itu,
sehingga tak sempat tersampaikan ke siapapun.

Sementara para pujangga pun sudah mulai berhenti bersajak.
Para filsuf pun telah lelah berpikir.
Tapi aku masih menunggu.

Karena aku menyayangimu.
Lebih dari seorang pujangga pada sajaknya,
lebih dari seorang filsuf pada pemikirannya.

Sayangnya, aku bukan Tuhan.
Tak bisa kubuat langit disini kembali jingga.

Jadi lihatlah aku,
mari kira pergi ke tempat lain.
Tempat dimana kita masih tetap bisa menikmati sore seperti biasa.
Bahkan ketika dia tak lagi jingga.

Percaya, disana akan lebih baik.

- Verrel Argo Baldi, 26 September 2014.