Sabtu, 30 Agustus 2014

Sebuah keinginan

Aku ingin melihatmu bahagia.
Menjadi daun kering terakhir di senja itu,
berbesar hati meninggalkan pohon yang tak lagi membutuhkannya,
bersama angin.

Aku ingin mempercayaimu.
Seperti daun kering terakhir,
percaya kepada angin yang mengajaknya berjalan - jalan,
kemanapun mereka berlabuh.

Aku ingin merindukanmu.
Bagai daun kering yang telah lelah berjalan - jalan,
merebahkan dirinya yang tua dibawah pohon.
Memandanginya,
pohon yang tak bisa lagi direngkuhnya di malam - malam dingin.

Aku ingin mencintaimu.
Layaknya daun kering yang mati
dan membusuk di tanah.
Menjadi pupuk.
Memberikan dirinya demi harapan - harapan baru untuk sang pohon yang ia cintai.

- Verrel Argo Baldi, Agustus 2014

Selasa, 19 Agustus 2014

Menjadi aku

Dipinggir jalan,
dipayungi oleh lampu jalan,
kita menengadah ke langit malam ini.

Ada pameran lukisan yang dipertontonkan oleh bintang - bintang itu.
Dia terkesima memandangi pameran itu.
Tapi aku,
hanya diam memandangi kesombongan-Mu yang ada pada dirinya.
Kesombongan itu adalah kesempurnaan.

Tak sedikitpun dia berpaling.
Aku bertanya,
"Kenapa Kau tidak menunjukkan kesombongan-Mu padaku?"
Kau hanya diam.
Menghabiskan batang rokok terakhir yang ada di saku-Mu itu.

Kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri,
"Apakah aku harus menjadi pelukis, dan menggantungkan karya - karya ku di bintang itu agar dia mencintaiku?"
entahlah,
pada akhirnya aku tetap terdiam memandangi dalamnya laut kesunyian,
laut yang sekejap dia ciptakan untukku saat itu.

Ketika semua terasa baik saja,
seketika semesta mulai murung.
Mulai disampaikannya tetesan - tetesan rindu,
dari mata langit kepada wajah bumi.
Pameran itu tutup begitu saja.

Dia pun lekas berdiri untuk menghindari hujan,
kemudian memandangiku, dan tersenyum.
Semua itu sudah cukup bagiku.
Cukup untuk menyelamatkanku yang hampir saja mati tenggelam di laut itu.

Aku sadar,
untuk mencintainya tak perlu menjadi langit,
bukan juga bintang,
bukan juga Kau.
Mencintainya cukup menjadi aku.

- Verrel Argo Baldi, Agustus 2014.

Desa Pinggir Rel

Dengan lori kayu,
senja hari kami datangi desa pinggiran rel yang berbatu tajam.
Angkuh sekali bebatuan itu.
Namun, batu itu tidak cukup tajam bagi anak - anak disana.
Tidak cukup tajam bagi mereka yang bermain bola.
Tidak juga bagi mereka yang bercanda diatas besi - besi rel.
Tak kulihat amarah.
Hanya ada senyuman.
Bertanya aku kepada mata mereka,
"Kemanakah perginya semesta yang semua orang kota cari?"
Tidak ada jawaban,
yang terdengar hanya  riak ketidaktahuan di mata mereka.
Mungkin mereka tidak melihat,
tidak berusaha melihat.
Entahlah,
mereka tetap bermain dan bercanda di rel itu.
Aku pun tersenyum dibuatnya.

- Verrel Argo Baldi, 19 Agustus 2014.