Selasa, 19 Agustus 2014

Desa Pinggir Rel

Dengan lori kayu,
senja hari kami datangi desa pinggiran rel yang berbatu tajam.
Angkuh sekali bebatuan itu.
Namun, batu itu tidak cukup tajam bagi anak - anak disana.
Tidak cukup tajam bagi mereka yang bermain bola.
Tidak juga bagi mereka yang bercanda diatas besi - besi rel.
Tak kulihat amarah.
Hanya ada senyuman.
Bertanya aku kepada mata mereka,
"Kemanakah perginya semesta yang semua orang kota cari?"
Tidak ada jawaban,
yang terdengar hanya  riak ketidaktahuan di mata mereka.
Mungkin mereka tidak melihat,
tidak berusaha melihat.
Entahlah,
mereka tetap bermain dan bercanda di rel itu.
Aku pun tersenyum dibuatnya.

- Verrel Argo Baldi, 19 Agustus 2014.

Related Posts:

  • Bunga kecil kepada lebahSemalaman aku membuat puisi ini untukmu. Mengenai bunga kecil di pinggir danau, yang tampak layu, namun belum kering. Karena ada yang tidak biasa. Di… Read More
  • Sore tak lagi jinggaSore ini kau mengajakku lagi ke sebuah bukit. Kita biasa datang kesini. Hampir setiap hari. Bercanda, tertawa, berbaring diatas rumputnya. Menikmati j… Read More
  • KliseMemburu, mencari ruang, waktu, rasa, yang dimuat dalam klise-klise. Mencucinya pada masa gelap, memandang seksama yang baru saja diambil. Sekarang bis… Read More
  • Surat waktuTentang penghabisan itu, karangan bunga aster, tentang surat-surat yang kamu terima. Di teras rumah, termangu. Matamu sembab, airmata menderai sampai … Read More
  • Ibu, lihatlah akuIbu, aku harap kau masih dapat melihatku. Ini anakmu yang dulu suka merengek karena kelaparan dan tidak mampu makan sendiri. Yang dini hari suka sekal… Read More

0 komentar:

Posting Komentar