Rabu, 17 Desember 2014

Verifikasi Vs. Deadline

            Verifikasi dalam  kerja jurnalisme merupakan suatu hal yang sangat penting, namun verifikasi sulit dilakukan jika deadline penulisan sangat singkat. Setujukah Anda jika verifikasi diabaikan karena persoalan deadline? Dengan kata lain jika berita tersebut tidak segera diberitakan maka tidak akan ada berita yang dipublikasi alias akan ada halaman kosong yang disajikan ke khalayak.

Jawaban         :

Apa itu jurnalisme?

            Jurnalisme seperti yang kita ketahui merupakan sebuah proses demokratisasi dalam masyarakat. Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri.[1] Jurnalisme lahir dimasyarakat untuk memenuhi hak-hak warga negara akan informasi. Jurnalisme memiliki kekuatan memberdayakan masyarakat melalui arus informasi yang diberikan kepada masyarakat secara bebas. Kebebasan terhadap akses informasi ini merupakan sebuah pintu gerbang yang besar bagi warga masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses penciptaan pemerintahan dan peraturan dalam kehidupan masyarakat dan negara yang mencakup aspek politik, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa jurnalisme dihadirkan kedunia untuk membangun masyarakat.

            Jurnalisme memegang perenan penting dalam struktur masyarakat karena bersentuhan dengan hajat hidup warga masyarakat. Peranan yang penting ini membuat jurnalisme sering disebut-sebut sebagai pilar dalam demokrasi, bersanding dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam posisi ini produk-produk jurnalisme bekerja selayaknya anjing penjaga yang siap menggonggong untuk melaporkan segala sesuatu yang terjadi disebuah negara, baik menyangkut eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun menyangkut kepentingan warga masyarakat lainnya. Yang dibutuhkan untuk membangunkan sebuah demokrasi dari tidurnya adalah gonggongan yang benar.

Kewajiban pertama jurnalisme

            Seperti yang dikemukakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya yang berjudul Sembilan elemen jurnalisme, kewajiban pertama dalam dunia jurnalisme adalah pada kebenaran. Menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya merupakan kewajiban mutlak dari setiap wartawan. Lalu “kebenaran” apa yang dimaksud disini? Dalam survey yang dilakukan oleh Pew Research Center for the People and the Press dan Committee of Concerned Journalist dengan wartawan sebagai sample utamanya, menghasilkan data bahwa 100 persen wartawan menyatakan “menyajikan fakta secara benar” merupakan nilai yang dianggap paling tinggi dalam pekerjaan jurnalisme.[2] Semua wartawan dalam berbagai media, mulai dari media konvensional sampai media baru mengusung misi utama yaitu menyampaikan “kebenaran”.

            Akan sangat sulit bagi seorang jurnalis untuk bias bersikap sangat objektif terhadap suatu informasi yang didapatkan – yang kemudian akan disebarluaskan melalui media dimana jurnalis itu bekerja – karena setiap jurnalis pasti memiliki bias tertentu. Pasar dimana jurnalisme dilahirkan tidaklah seideal yang kita pikirkan, selalu ada permintaan terhadap keuntungan, perangai sebuah berita biasanya besar dipengaruhi dari kepemilikan, kualitas dan keputusan penyampaian informasi dari suatu media sangat erat kaitanya dengan redaktur dan budaya redaksi, bisnis pengorganisasian berita juga menjadi pernanan penting, oligarki media, bahkan pengetahuan kita mengenai internet yang masih sangat muda ini memberika tantangan tersendiri terhadap bias objektifitas dalam jurnalisme. Meski demikian, seorang jurnalis seharusnya tetap berpegang teguh kepada kebenaran, dan tetap mengejar akurasi, kejujuran dan kebenaran secara terus menerus.

            Dalam beberapa sisi, kebenaran yang kita maksud tampaknya sebuah kebenaran hakiki sangat rumit atau dikatakan sebuah mimpi untuk dikejar para jurnalis, karena kita mengetahui secara filosofis setiap individu yang berkaitan dengan informasi mempunyai subjektifitas masing-masing. Jika kita berpegang kepada kajian semantic dalam filsafat mengenai kebenaran dalam jurnalisme, maka kita mengetahui bahwa jurnalisme sesungguhnya tidak pernah menyampaikan sebuah kebenaran yang hakiki. Kajian mengenai kebenaran jurnalistik cenderung masuk kepada kebenaran fungsional, lebih dari sekedar akurasi. Ini – kebenaran jurnalistik – adalah pekerjaan sortir yang berkembang antara cerita pertama dan interaksinya di tengah publik, pembuat berita, dan wartawan sepanjang waktu.[3] Hal inilah yang “kebenaran” yang sebenarnya dikejar dalam dunia jurnalisme yaitu kebenaran praktis dan fungsional. Kebenaran jurnalisme lebih sebagai proses yang dijalankan. Pada tulisan Eugene Meyer pada tahun 1993 mengenai prinsip kebenaran jurnalisme yang dianut Washington Post adalah menyampaikan kebenaran sedekat kebenaran bisa dipastikan.[4]

            Jadi, keinginan agar informasi yang disampaikan oleh jurnalis adalah sebuah kebenaran merupakan hal yang sangat penting dalam membangun demokrasi. Jurnalis harus melakukan upaya-upaya yang sangat keras dengan memilah-milah fakta dalam informasi yang mereka dapatkan secara berkelanjutan. Karena dengan ini akan membentuk kualitas terpenting dalam berita yaitu dapat digunakan dan diandalkan untuk dikembangkan menuju kebenaran. Yang harus dijunjung tinggi dalam menyampaikan sebuah informasi adalah validitas dan reliabilitas.  Maka dari itu, verifikasi menjadi tulang punggung jurnalisme dalam menjalani proses kebenaran informasi yang  dimaksud.

Pentingnya verifikasi dalam jurnalisme

            Jurnalisme merupakan sebuah disiplin ilmu yang berurusan erat dengan proses pencarian kebenaran. Namun kelemahan dari jurnalisme ada pada pelaku jurnalisme itu sendiri, yaitu subjektifitas yang dibawa oleh mereka. Kebenaran yang objektif menjadi sebuah kata yang tidak akan bisa di rengkuh oleh dalam jurnalisme. Maka dari itu, hal yang bisa dilakukan oleh pelaku jurnalisme adalah mengupayakan agar informasi yang mereka dapatkan dan yang anntinya akan mereka sampaikan ke public adalah informasi yang paling mendekati dengan kebenaran. Verifikasi adalah jalan utama yang harus ditempuh dalam upaya tadi.

            Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme mengemukakan bahwa, esensi utama dari sebuah jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Karena sejak awal jurnalisme memiliki focus untuk menceritakan apa yang terjadi setepat-tepatnya, maka disiplin verifikasi inilah yang pada akhirnya memberikan perbedaan atau ciri-ciri khusus jurnalisme dibandingkan dengan hiburan, fiksi, propaganda, atau seni. Verifikasi selalu berada dalam fungsi pokok jurnalisme, maka metode verifikasi sejalan dengan apa yang dikatakan Walter Lippman pada 1920, “Sebuah komunitas tak bisa merdeka bila kekurangan informasi, karena dengan informasi yang cukup kebohongan bisa dideteksi.”[5]

            Dalam jurnalisme verifikasi tidaklah cukup bagi masyarakat atau publik apabila seorang jurnalis memberikan niat baik atau upaya jujur dalam menyampaikan informasi, bahkan hanya sekedar menerbitkan fakta saja tidaklah cukup. Konteks, jejak dari fakta yang diciptakan dan bagaimana jurnalistik menghadirkan mereka juga haruslah akurat.[6]

            Pada jurnalisme verifikasi, kelengkapan akan informasi terhadap fakta ditempatkan pada nilai tertinggi. Sebagaimana yang diperkenalkan Commission of Freedom of the Press, yang dikenal dengan Hutchins Commission, pada 1947: “sebuah laporan yang benar, komperhensif, dan cerdas mengenai kejadian sehari – hari dalam konteks yang bermakna. Syarat pertama adalah media mesti akurat, mereka tidak boleh bohong. Dan fakta harus bisa dipahami dengan cara yang bisa dipahami. Tak lagi cukup melaporkan wakta yang sebenar-benarnya, kini penting untuk melaporkan kebenaran soal fakta.”

Verifikasi Vs. Deadline

            Seperti yang sudah diuraikan diatas, verifikasi merupakan hal yang penting dalam proses jurnalisme. Verifikasi merupakan intisari dari proses jurnalisme. Namun memang tidak mudah bagi seorang jurnalis untuk melakukan verifikasi karena wartawan jarang sekali berada di lokasi kejadian dari berita acara. Maka mereka harus bersandar kepada sumber untuk menyampaikan informasi tentang apa yang terjadi. Banyak wartawan yang juga kurang atau bahkan tidak sama sekali memiliki keterampilan dalam melakukan penafsiran terhadap suatu peristiwa atau isu tertentu. Mereka berpaling kepada pendapat para pakar untuk memberikan informasi yang jelas. Oleh karena itu adalah sumber merupakan aspek penting dalam dunia jurnalisme. Lalu bagaimana sikap seorang wartawan melakukan verifikasi mendalam – yang diatas dijelaskan merupakan hal yang sulit – untuk memenuhi hasrat verifikasi jurnalisme sedangkan wartawan itu sedang berada pada zona deadline yang mengharuskan wartawan untuk memproduksi berita kepada masyarakat?

            Pertanyaan seperti ini menurut saya merupakan pertanyaan dalam ranah yang abu-abu, akan sulit untuk memberikan justifikasi mana yang lebih baik. Mengingat elemen-elemen bebrapa elemen jurnalisme yang menyangkut isu ini kurang filosofis, lebih bersifat fungsional dan praktikal. Kebenaran yang merupakan kewajiban utama seorang jurnalis juga dipengaruhi subjektifitas dari jurnalis itu sendiri. Subjektifitas wartawan inilah yang menjadi tembok penghalang bagi jurnalisme dalam menyampaikan kebenaran. Maka para wartawan menetapkan metode bernama verifikasi untuk mendekatkan informasi mereka kepada kebenaran. Namun, sekali lagi menurut saya tidak ada indikator pasti – jika ada maka akan sulit untuk dilakukan pemeriksaan – untuk mengukur sejauh mana informasi yang diterima oleh masyarakat. Dengan ini bisa bisa ada ancaman”jurnalisme adalah apapun yang dikatakan wartawan tentang jurnalisme” seperti yang dikatakan Maxwell King mantan redaktur Philadelphia Inquirer “kita membiarkan karya kita berbicara mewakili dirinya sendiri.” Atau, kerika terdesak wartawan dengan gampangnya menganggap mereka bekerja demi kepentingan publik.[7] Dalam hal ini berarti kita sebagai publik tidak mengetahui sejauh mana berita itu sudah mendekati kebenaran. Sejauh ini apabila tidak ada berita kelanjutan atas berita yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa berita tersebut telah mencapai titik terdekat dari kebenaran. Contohnya sederhana di Indonesia, ketika seorang yang sedang menghadapi tuduhan kasus korupsi dan mempunyai peluang besar menjadi tersangka dikabarkan sedang jatuh sakit dan dirawat di RS X, maka sejauh ini media hanya meminta keterangan dari pihak rumah sakit, kerabat, atau orang yang terkait – yang sebenarnya bisa saja secara dipaksa, diminta, dibayar atau tidak mempunyai preferensi untuk menutup-nutupi kebenaran tentang keadaan sesungguhnya. Jika berita mengenai apa yang menimpa terduga disampaikan ke masyarakat bagaimana adanya diatas tanpa ada verifikasi lebih lanjut, maka kita semua dapat menyimpulkan bahwa hal yang diberitakan sudah paling mendekati kebenaran. Bagaimana jika media memverifikasinya dengan mendatangi ruangan dimana terduga dirawat untuk melihat apa yang benar-benar terjadi kepadanya? Ya, titik kebenaran yang tadinya sudah hampir dicapai akan naik lebih tinggi lagi. Jadi wartawan sendiri lah yang menetapkan indikator kebenaran didalam beritanya.

            Jika dilihat secara hitam putih dalam artian harus menyimpulkan yang mana yang lebih baik atau buruk, maka saya kurang setuju apabila seorang wartawan dalam proses produksi berita harus mengabaikan verifikasi hanya karena persoalan deadline. Karena idealnya verifikasi dalam jurnalisme adalah ruh yang menghidupkan jurnalisme. Dalam bukunya Regret the Error: How Media Mistakes Pollute the Press and Imperil Free Speech, Craig Silverman menyatakan bahwa dalam jurnalisme seorang jurnalis hanyalah sebaik sumber mereka. Ketika sumber-sumber salah, jurnalis juga akan salah. Evaluasi asal muasal dan kejujuran dari sumber merupakan hal yang penting untuk meningkatkan akurasi mengingat sumber adalah hal ini sangat penting untuk jurnalis. Apabila berkaca kepada kewajiban utama jurnalisme, yaitu menyampaikan kebenaran – dimana verifikasi merupakan jalan utama untuk mendekatkan berita kepada kebenaran – maka pengabaian verifikasi bisa dikatakan sebagai bentuk pengabaian terhadap kewajiban utama jurnalisme yaitu kebenaran. Menurut saya jurnalisme tidak akan berjalan jika tidak adanya publik.  Melihat kembali kebenaran yang dikatakan bahwa jurnalisme membiarkan komunitas bereaksi terhadap produk jurnalisme. Walaupun verifikasi juga dipengaruhi oleh subjektifitas dan bias dari jurnalis, kita dapat melihat bahwa media yang beredar dimasyarakat sangatlah banyak dan bervariasi. Maka kita sebagai publik juga wajib melakukan studi komparasi untuk menilai apakah suatu produk jurnalisme sudah mendekati kebenaran.

            Menelisik juga mengenai loyalitas utama seorang jurnalis adalah kepada masyarakat, jika dilihat secara hitam putih menyampaikan berita dalam waktu yang tepat merupakan hal yang penting dalam jurnalisme. Tidak bisa dipungkiri memang kita sebagai public memiliki hak utnuk mendapatkan pemuasan terhadap kebutuhan informasi dengan cepat. Namun, ada sedikit kabut abu-abu yang membuat saya meraba-raba apakah dengan mengeluarkan berita dengan verifikasi minim yang dimaksud disini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan jurnalis akan deadline, ataukah demi kepentingan publik akan akses berita yang cepat. Dan jika output yang disampaikan ke masyarakat khusunya di Indonesia sifatnya hampir sama dengan kasus terduga korupsi yang sebelumnya saya contohkan – dimana kita menganggap berita itu sudah di verifikasi karena menampilkan sumber-sumber yang sudah bisa dikategorikan sebagai sumber kredibel – bukankah ironis bila kita mengatakan itu mendekati kebenaran? Idealnya seorang jurnalis yang berpegang teguh kepada kewajiban terhadap kebenaran akan menjaga loyalitasnya kepada masyarakat, dengan menomorsatukan hasil berita yang sudah diverifikasi secara baik, baru kemudian memenuhi tuntutan deadline. Karena sesungguhnya verifikasi lah yang membedakan jurnalisme dengan cerpen, novel, dongeng, atau fiksi. Tapi tidak lupa kita sebagai masyarakat harus terus berpikir skeptis, karena jurnalisme verifikasi adalah jurnalisme yang menyajikan jawaban terlengkap atas pernyataan yang kita ajukan melalui cara berpengetahuan skeptis



Daftar Referensi

Kovach, Bill.; Rosenstiel, Tom. Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006)

Kovach, Bill.; Rosenstiel, Tom. Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran Di Era Banjir Informasi. (Jakarta: Dewan Pers, 2012)

CCJ dan Pew Research Center for the People and the Press. “Striking the Balance: Audience Interest, Business Pressure and Journalist Values”. (March 1999)

Lippmann, Walter. Liberty and the News. (New Brunswick, N.J., and London: Transaction Publishers, 1995)

Silverman, Craig. Regret the Error: How Media Mistakes Pollute the Press and Imperil Free Speech. (Toronto: Viking Canada, 2007.)

Rieh, Soo Young., and David R. Danielson. “Credibility: A multidisciplinary framework.” Annual Review of Information Science and Technology 41 (2007): 307-364.

Brouse, Cynthia. After the Fact: A Guide to Fact-Checking for Magazines and Other Media. (Toronto: Ryerson University, 2007) Print.

Meyer, Philip. The New Precision Journalism. (Bloomington: Indiana University Press, 1991) Print.

[1] Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006), 12.

[2] CCJ dan Pew Research Center for the People and the Press, “Striking the Balance: Audience Interest, Business Pressure and Journalist Values” (Maret 1999), 79.

[3] Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006), 45.

[4] Eugene Meyer, “The Post Principle,” in Washington Post Deskbook on Style, 2nd ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 7.

[5] Walter Lippman, Liberty and the News (New Brunswick, N.J., and London: Transaction Publishers, 1995), 58.

[6] Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Blur : Bagaimana Mengetahui Kebenaran Di Era Banjir Informasi (Jakarta: Dewan Pers, 2012), 38.

[7] Maxwell King, pada rapat pendirian Committee of Concerned Journalists (CCJ), 21 Juni 1997. Sebagaimana dikutip di dalam Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006), 11.

0 komentar:

Posting Komentar