Senin, 25 Juli 2016

Lavender Dream

I wonder how it feels like to be a lavender,
just for fun.

Born and grew purplish from Cape Verde spring.

I would sway around in constant motion with the wind and laughter,
showing you shades of hidden sincere beauty.
With the new greenish budded leaves 
as it caresses the row of your hands; gently, softly.
And as you walk by with that wet stress spread all over your face,
I should slyly blooms and sing a song of exuberant tranquil fragrance 
for you.

Probably, you would notice the texture, 
the colour of sensual archipelago sea,
and the serene scent of the flower.

But would you guess that it was me?

- Verrel Argo Baldi to Yuvira Yusra, July 18th 2016.

Rabu, 06 Januari 2016

Takut untuk berani

Kepada kamu,
yang tidak percaya
dan yang takut.

Sebelum pembunuhan itu kamu sangat percaya.
Berdiri tegak dan berani.
Kamu tidak takut, untuk sepenuhnya jatuh;
menjadi halaman dimana orang lain melepaskan sepatunya
ketika lelah bekerja,
menjadi rokok terakhir yang bersedia dibakar
untuk kenikmatan sesaat.
Menjadi mati,
namun kamu berani menikmati kematian itu.
Karena kamu percaya semuanya akan baik-baik saja
walaupun di neraka.

Sayangnya, wajah pembunuh itu telah merasuk ke mimpi-mimpi.
Membuatmu jadi takut bermimpi,
membuatmu jadi takut beristirahat;
walaupun kamu butuh,
walaupun pundakmu sudah mengecap beban yang tak terkira.
Beban yang kamu bawa setiap hari.

Tiap malam kamu tidak benar-benar tidur.
Hidup dalam sekat-sekat aman
yang sekiranya akan melindungimu dari malam-malam dingin.
Kamu juga takut terjaga terlalu larut,
kamu takut minum kopi,
selalu ingin cepat tidur;
tidak ingin mengingat pembunuhan itu
menolaknya.
Tapi saat kamu akan tertidur
kamu ingin tidur itu setidur-tidurnya;
menjadi tidur terakhir,
tidak ingin bangun lagi.

Kamu tidak lagi bisa membedakan
mana yang semu dan mana yang nyata
hanya dipisahkan oleh kelambu tipis
semua membingungkan
kamu menjadi takut memutuskan
kamu menolak untuk jatuh ke dunia semu
maka kamu memilih berlari

Tiap harinya kamu berlari
melarikan diri,
membohongi dirimu sendiri,
berusaha menerjemahkan labirin yang tidak bisa dipecahkan;
teka-teki yang kamu buat sendiri,
yang akan membuatmu merasa merdeka ketika memecahkannya.
Meyakinkan dirimu bahwa di ujungnya ada yang selama ini kamu cari
kemudian mengulang lagi.
Teka-teki lain untuk dipecahkan.
Harapan lain untuk dicari.

Sesaat kamu rindu untuk diam dan menetap.
Namun lengkingan sakitnya tetap memburumu dalam sepi;
membuatmu terpaksa menyukai keramaian dan kesibukan semu
yang tidak ada luang,
yang tidak ada ruang
untuk disusupi sepi.
Kamu jadi takut untuk sendiri,
tapi kamu lebih takut lagi tidak bisa kembali sendiri

Tidakkah kamu lelah?
Dikejar-kejar ketakutan.

Padahal kamu tidak membunuh.
Bukan pembunuh.
Tidak pernah membunuh.

Kamu sendiri yang tahu
tentang akal dan hatimu
tentang jalan yang kau tempuh
tentang penghabisan dan ujungnya
tentang rekah dan berkah yang sejujur-jujurnya
dalam dirimu, rasi bintang yang paling indah.

Tak perlu takut dibunuh
matilah semati-matinya,
bersama awan senja
rinai rindu
karena itulah awal kekekalan.
Hidup tanpa takut mati.

Aku percaya kamu.

- Verrel Argo Baldi, 6 Januari 2016

Sabtu, 02 Januari 2016

Perlucutan

Saat ketakutan itu datang
aku meringkup di ujung kamar,
mendengar teriakan tentang yang salah dan yang benar
dan yang tidak akan kembali.
Suara kaca pecah dan lari-lari bergemuruh.

Inikah dunia?

Tentang tangis ibu pecah di ruang tengah.
Wajahnya yang pucat pasi
seperti bunga terakhir di awal musim dingin.
Tentang ayah bersumpah serapah.
Tidak membiarkan dirinya diterkam
getirnya awasan ketaksaan.

Lengkaplah sudah.

Akupun tersedu sedan.
Aku bingung berbicara dengan siapa,
bingung berbagi dengan siapa;
mungkin tidak ada.
Mengingat yang mungkin juga akan pergi
jauh meninggalkan.

Di balik selimut yang tak cukup besar,
hanya menutupi wajah;
menangis,
teriak,
meratap.
Berusaha lari dari takdir dan keniscayaan.

Lalu bayang-bayang kematian datang
mengambang di hadapan.
Di matanya terhimpun semesta;
tajam ke arahku,
menyapa pikiranku,
membeku.

Tangannya yang renta bergetar
berusaha mencapaiku.
Merasuk.
Idenya membelai nadiku.
Membuat celah sepanjang horizon,
membiarkan kakiku menjadi dingin.
Meninggalkan ketakutan paling panjang.
Rekah dan yang tak akan pernah tertutup
oleh tangis yang pecah
dan doa.
Membunuh imajinasi.

Akhirnya usai juga.

Setelah lucut,
di sisa-sisa keraguanku
kurasakan napasnya yang kering.
Dia bergumam
menjawab pertanyaan yang belum terpecahkan.
Semua tentang kebenaran yang muram,
tentang lapar,
dan tentang gelap.

'Ya, inilah duniamu.'

- Verrel Argo Baldi, 2 Januari 2016

Jumat, 20 November 2015

Ketaksaan


Di antara diam dan debur;
Aku mercusuar, dan kamu melayar jauh.

Aku akan sibuk sendiri bergeming.
Mengakar di ujung tebing,
menabahkan diri pada batu-batu.
Temaram di antara kabut
tak henti-hentinya mengeja kegetiran.

Sementara kamu akan lebih sibuk melawan badai,
tak peduli kelukur lama masih basah;
belatung mengerubung meminum nanah.
Menguras genangan di geladak,
tarik-ulur tali layar.
Mencari tempat baru untuk memulai.

Aku dan kamu sama-sama taksa.
Kamu berbahasa ombak,
aku berbahasa karang.
Tak perlu lelah berusaha untuk mengerti,
memang sudah berbeda.

Rangkul dan ampuni saja

Siapa tahu dalam bertahun-tahun,
dalam mimpi-mimpi yang terus berulang;
ketika telah diselimuti lumut dan rapuh,
kita akhirnya akan mengerti satu makna yang sama.

Ada dan tiada hanyalah masalah dualisme.

- Verrel  Argo Baldi, 21 November 2015

Selasa, 18 Agustus 2015

Ibu, lihatlah aku

Ibu, aku harap kau masih dapat melihatku. Ini anakmu yang dulu suka merengek karena kelaparan dan tidak mampu makan sendiri. Yang dini hari suka sekali membangunkanmu dengan tangisanku yang keras, padahal tubuhku begitu kecil. Aku anak yang dulu tidak tahu malu ketika membasahi baju-bajumu dengan air seniku. Apakah kau ingat itu?


Aku tidak tahu seberapa besar rasa sayangmu padaku, mungkin tidak akan pernah tahu. Yang ku tahu pasti sangatlah besar. Ingatkah ketika kau malah tersenyum bahagia dan tidak memarahiku sedikitpun di hari pertama aku membuatmu menangis? Aku dengar orang-orang bilang arti cinta sesungguhnya adalah untuk membebaskan. Aku lihat itu  di hatimu, Bu. Kau tidak pernah menahanku, melainkan mengajari aku merangkak, berjalan dan berlari untuk menjelajahi waktu yang nyatanya diam.


Ibu, terimakasih kini aku sudah mulai mengenal waktu. Aku senang menjelajahi dunia. Anak laki-lakimu ini sudah mulai mengenal perempuan juga. Aku selalu ingin menceritakannya padamu, dengan nada malu, lalu kau hanya tersenyum dan tertawa kecil. Aku ingin mendengar ceritamu sebagai perempuan pada saat seperti ini, atau cerita tentang dirimu dan Bapak.


Aku juga sudah mengenal banyak rasa sakit.
Tapi itulah yang dibutuhkan untuk menjadi dewasa, bukan?
Untuk menjadi bijak seperti Bapak.


Ibu, aku tahu menjadi dewasa itu penuh tanggung jawab dan berat. Terkadang anak kecilmu merasa congkak dan sudah cukup tahu untuk menjalaninya sendiri. Tidak jarang aku malah mengeluh; marah; menyesal; dan merasa dikhianati, tapi bodohnya aku juga belajar untuk keras kepala dengan segala nasehatmu. Aku tahu kau akan bersabar, karena belajar dan mengeja menjadi sendiri harus kulakukan.


Sebentar lagi aku akan meninggalkan rumah. Memilih jalan sendiri. Kau tahu hari itu akan datang. Kau hanya akan menetap disana dan memandangiku yang perlahan-lahan menghilang diujung cakrawala. Tidak berusaha mengejar, lalu berpura-pura kuat dengan bersembunyi dibalik senyum itu. Bu, tapi aku tahu, tidak ada yang lebih mengharukan bagi seorang ibu dari melihat anak yang pergi dewasa.


Tidak tahu seberapa besar aku akan merindukan perhatianmu dulu ketika aku terjatuh dari sepeda. Aku juga pasti merindukan cubitan kecilmu ketika aku melakukan kesalahan. Mungkin nanti aku akan terlihat tinggi dan kuat, tapi sesungguhnya aku takut tersesat, dan kedewasaan telah membuatku malu untuk mengatakannya. Aku malu mengatakan kalau aku sedang membutuhkan pelukanmu dimasa-masa sulit, aku malu menangis di hadapanmu.
Bu, ketika aku di luar nanti jangan pernah biarkan aku merasa bisa sendiri. Jangan pernah biarkan aku menolak kesederhanaan.


Aku mencintaimu, aku harap Ibu bisa mendengar itu.

Sabtu, 06 Juni 2015

Klise

Memburu,
mencari ruang,
waktu,
rasa,
yang dimuat dalam klise-klise.
Mencucinya pada masa gelap,
memandang seksama yang baru saja diambil.
Sekarang bisa dilihat.

Kupanggil kamu dari depan pintu,
dengan suara yang menggoyahkan lari kecilmu.
Mau kutunjukkan padamu,
agar bertanya apakah bunga di dalamnya sudah mati,
apakah rumput itu berbau sama.
Bisakah kamu lihat?
Atau aku harus mencetaknya agar jelas?

Sesudahnya kita terdiam,
memangku sepi,
hanya saling membayangkan.
Bersama hingga senja.
Tak satu kata berjabat tangan.
Maka aku mau tersenyum,
masuk ke dalam dan mencetaknya.
Mungkin kamu hanya tidak tertarik dengan suatu klise.

- Verrel Argo Baldi, 6 Juni 2015

Minggu, 24 Mei 2015

Surat waktu

Tentang penghabisan itu,
karangan bunga aster,
tentang surat-surat yang kamu terima.
Di teras rumah,
termangu.
Matamu sembab,
airmata menderai sampai jauh.
Melihat pecahnya logika dan intuisi,
mencoba bersolek dalam kaca-kaca.

Aku memang tidak disitu.
Saat kamu berlari riang di musim panas,
di tengah daun-daunmu yang meranggas,
dekat tubuh dan nafasmu yang beku di musim dingin,
menyaksikan matahari terbit bersamamu.

Sepi memang buatmu saat ini.
Rubuh,
remuk,
patah,
kabur.
Lilin di hatimu yang mulai padam,
menyiluetkan keputusasaan.
Maafkan aku.
Tapi ketahuilah,
aku tidak pernah meninggalkanmu.
Tidak untuk sekedipan mata.
Aku sudah pernah disitu.

Aku hanya sudah mengembara jauh,
ke negeri asing.
Bertahun-tahun di masa depan.
suatu saat kamu jalani dan singgahi.
Nikmatilah,
pahamilah hakmu.

Oh betapa aku ingin memelukmu saat ini.
Aku tahu keadaanmu.
Aku menunggumu.
Bersatulah denganku ketika bertemu.
Diriku,
di masa kini.

- Verrel Argo Baldi, 24 Mei 2015