Sabtu, 02 Januari 2016

Perlucutan

Saat ketakutan itu datang
aku meringkup di ujung kamar,
mendengar teriakan tentang yang salah dan yang benar
dan yang tidak akan kembali.
Suara kaca pecah dan lari-lari bergemuruh.

Inikah dunia?

Tentang tangis ibu pecah di ruang tengah.
Wajahnya yang pucat pasi
seperti bunga terakhir di awal musim dingin.
Tentang ayah bersumpah serapah.
Tidak membiarkan dirinya diterkam
getirnya awasan ketaksaan.

Lengkaplah sudah.

Akupun tersedu sedan.
Aku bingung berbicara dengan siapa,
bingung berbagi dengan siapa;
mungkin tidak ada.
Mengingat yang mungkin juga akan pergi
jauh meninggalkan.

Di balik selimut yang tak cukup besar,
hanya menutupi wajah;
menangis,
teriak,
meratap.
Berusaha lari dari takdir dan keniscayaan.

Lalu bayang-bayang kematian datang
mengambang di hadapan.
Di matanya terhimpun semesta;
tajam ke arahku,
menyapa pikiranku,
membeku.

Tangannya yang renta bergetar
berusaha mencapaiku.
Merasuk.
Idenya membelai nadiku.
Membuat celah sepanjang horizon,
membiarkan kakiku menjadi dingin.
Meninggalkan ketakutan paling panjang.
Rekah dan yang tak akan pernah tertutup
oleh tangis yang pecah
dan doa.
Membunuh imajinasi.

Akhirnya usai juga.

Setelah lucut,
di sisa-sisa keraguanku
kurasakan napasnya yang kering.
Dia bergumam
menjawab pertanyaan yang belum terpecahkan.
Semua tentang kebenaran yang muram,
tentang lapar,
dan tentang gelap.

'Ya, inilah duniamu.'

- Verrel Argo Baldi, 2 Januari 2016

0 komentar:

Posting Komentar